Rabu, 28 Januari 2009

perjalanan, pengakuan, dan salah sangka dari 15 menit pertemuan

Ini bukan cinta pertama, tapi inilah yang membebaskan. Sudah lama sekali aku ingin merdeka, karena itu cinta ini wajib kukatakan. Karena lelaki mana yang tidak akan tergugah untuk sepenuhnya jujur pada cinta yang sudah lama di yakini sebagai yang terakhir. Seperti halnya tiap manusia yang benar-benar di goyangkan denyut nadi yang tiba-tiba saja kencang.
Memang banyak hal yang mesti di selesaikan, khususnya informasi panca indra yang kadang keliru. Karena biasanya akan membengkokkan logika yang sudah lurus, lalu kemudian kembali sunyi dengan sempurnanya sakit. Hal ini pasti perih sekali dan bertahan lama. Namun, jika yang di pegang adalah adanya tingkatan-tingkatan yang selalu ada di benak manusia layaknya susunan batu bata yang menyatu sampai seutuhnya tembok, maka maaflah solusinya dari kegagapan dalam memaknai. Jadi ampunilah cinta yang kadang kala kurang di pahami. Karena cinta sesungguhnya tidak pernah berdusta. Cinta itu lurus-lurus saja, manusialah yang menggiringnya kelorong buntu.
Sebenarnya lagi hak mengartikan cinta memanglah tidak berdasar. Aku seringkali membenci kata “cinta” itu sendiri. Aku membolehkan kesombonganku untuk terus berbicara pongah, meski yang nyata hanyala kekonyolan belaka. Karena para penganjur cinta yang terdahulu saja tidak menemukan padanan kata untuk kata “cinta” itu. Lalu apakah aku akan terus mempertahankannya? Tapi anda tak perlu repot untuk ikut-ikutan menjawabnya. Karena ini masihlah kesombonganku. Tidak tahu malu mungkin lebih tepatnya. Karena aku pun mengingat dengan pasti beberapa kekalahan yang berkali-kali. Tapi lagi-lagi aku memproklamirkan diri sebagai kesatria. “Ha…ha…ha…!” Padahal detik pun tak pernah mengingat kemenanganku. Karena tak sekalipun juga aku keluar sebagai pemenang.
Lucu sekaligus aneh. Kekejaman yang kulakukan sangatlah bengis, aku telah menyusun kata menjadi kalimat yang tajam yang memungkinkan melukai setiap hati yang di sentuhnya. Keinginan tak lebih pada kucuran air mata. Tapi tetap saja tidak dapat membersihkan mata hati karena dasar cinta ini sesungguhnya tidaklah sungguh-sungguh.

Sebagaimana akhirnya, Tuhan tak henti-hentinya mengingatkan untuk selalu adil.

Apapun jawaban akhirnya itu harus di terima, karena jawaban itu sudah di bangunkan oleh pertanyaan yang di lontarkan. Responlah ini semacam kekalahan yang menggetarkan dan mengesankan.

***

Kau teramat baik dan tulus hingga ribuan kata pujian yang kuucapkan tetap saja menjadi kata persahabatan abadi di benakmu. Dan aku tak perlu kecewa denganmu, karena itu sudah adil. Di situlah tempat yang sebenarnya. Kita akan tua dan itu jelas. Dan Franz Kafka pernah mengingatkan kalau orang yang selalu melihat keindahan akan selalu terlihat mudah. Dan percayalah, secuil ingatanku tentang dirimu semuanya adalah keindahan. Karenanya aku harus berterima kasih, semua itu berkat adanya dirimu.
Tapi kejujuran lain yang kusadari adalah kalau pencarian cinta itu tidak di ukur dengan peluk dan cium. Dan kau pun menempatkan pengakuanku pada tempat yang kau anggap sebagai tempat layaknya. Sekali lagi aku harus membenarkanmu, karena pasti kau pun tidak akan tertawa yang dasarnya kekonyolan belaka. Satu lagi, kau pasti menganggap ini sebagai keberanian yang patut di ingat untuk di pertimbangkan. Karenanya aku tak perlu takut pada kekecewaan karena tempatnya juga ada. Dan nasihat seorang teman “Buatkan dia tempat khusus di dalam hatimu” karena teman itu menganggap perasaanku sangat tulus, jadi aku harus tetap berbangga diri kalau aku tidak di tolak. Cuma kesempatan saja yang tidak ada.
Dari 15 menit, sebenarnya tidak pas 15 menit karena kau selalu saja bergegas memintaku pulang dengan mengulang-ngulang kalau waktu yang di sediakan cuma 15 menit saja. Tapi aku pun serasa puas sekali karena telah melihatmu berbicara begitu lepas menjelaskan semua kesibukanmu sebagai mahasiswa semester dua jurusan keperawatan di sebuah universitas. Tarikanmu memang kuat karena mengalahkan tatapan mataku, jadinya aku tertunduk terus atau memalingkan pandangan pada sesuatu yang lain. Tapi mungkin juga kau tidak sadar kalau sekali waktu aku menikmati sekilas senyummu. Demi tuhan, itu sangat indah.
Untung saja aku masih bisa pulang kerumah dengan membawa serta sisa-sisa harapan yang harus kupertahankan. Awalnya memang ada kekecewaan dan berakhir dengan luapan emosi yang mungkin kau rasakan dampaknya. Langsung saja kukatakan kalau aku tak akan menghubungimu lagi karena kepentinganku tidak ada lagi. Tapi emosi itu lantas tak membuatku lega, sepanjang yang kuingat rasanya benar-benar tidak adil. Karena seingatku Nabi Muhammad SAW. Pernah di lempari batu oleh pembecinya, tapi ketika orang itu jatuh sakit dan Sang Nabi mengetahuinya seketika juga Nabi menjenguknya seraya berdoa untuk kesembuhannya. Tidak adilnya memang pada keputusanku yang gegabah.

***

Jauh hari sebelumnya kau memang mengirim kabar dengan sejumlah sms yang kelak kusalah pahami. Kau memintaku untuk menjengukmu di pesantren yang lokasinya ada di kotaku, ajakan itu selanjutnya membuatku berfantasi ria dengan ingatan di masa lalu. Masa ketika aku masih bersekolah di Makassar dan kau masih SLTP saat itu, tapi sekolah kita satu lokasi. Di sanalah ada kisah yang belum tuntas tentang pengakuan cinta, perburuan, dan bahkan salah paham yang belum terjawab. Kalau tidak salah adalah kegiatan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) yang kita ikuti. Bisa di pastikan kalau aku hampir mendominasi pembicaraan dengan mendebat setiap pemateri. Dan lewat bisik-bisik salah satu peserta aku mendengar berbagai pujian yang membuatku merasa senang yang aneh. Karena terkadang aku tertawa sendiri.
Setelah kegiatan itu usai dan semua kembali menjalani rutinitas sekolah masing-masing. Aku masih selalu saja mendengar berbagai pujian yang kurasa salah alamat, tapi seorang teman meyakinkan kalau itu memang buatku. Ia berani bertaruh dengan memberi tawaran kalau setiap pagi di pintu gerbang sekolah ada serombongan murid SLTP yang patut di perhatikan. Entah kenapa aku mengikuti petunjuk teman itu, dan akhirnya jadilah aku meyakinkan diri sendiri kalau aku harus mengatakan sesuatu pada salah salah satu murid SLTP yang ada di pintu gerbang sekolah setiap pagi. Teman memberi tahu kalau anak SLTP itu bernama Nur Insanah, “Ia anak sini dan rumahnya ada di lorong sebelah” katanya menjelaskan.
Selanjutnya aku sudah berani bertanya tentang berbagai kemungkinan yang bisa membuatku berbicara langsung dengannya. Aku tidak ingat lagi dari mana mendapatkan nomor telepon rumah tetanggannya, tapi aku menghubunginya juga meski akhirnya aku merasa berat sendiri pada tetangganya. Tak puas dengan itu, selangkah aku maju lebih berani lagi dan mengatakan perasaanku padanya. Setidaknya aku sudah jujur. Mendengar itu ia lantas tak langsung menjawabnya dan meminta waktu untuk membuat keputusan. Masih kuingat betul kalau kau pernah menelpon ke asramaku dan bilang kalau kau memberi jawaban pada hari sabtu, dan di masjid lantai dualah kau mengatakannya padaku, saat itu tepat tanggal 29 Juni 2002.

Aku harus menulis ini karena aku belum pikun. Kau mengatakan kalau kau menerimaku.

Bahagia, pasti ia. keesokannya aku melangkah ringan kesekolah karena bila ada pemeriksaan tentang siapa yang paling berbahagia. Aku pasti berada di urutan pertama. Namun di hari-hari berikutnya, kayaknya aku harus membuat keyakinan baru. Kau sepertinya menghindar dan tidak berucap apa-apa, itu berlangsung agak lama dan sepertinya memang tidak ada waktu untuk berbicara. Pertama karena aku terlibat kegiatan organisasi di luar sekolah yang menyita waktu dan kau pun pasti tidak mau menjelaskan apa-apa. Aku harus sadar karena kau masih SLTP dan saat itu kau bukan alasanku untuk menumpahkan air mata untuk bersedih. Tapi di akhir sekolah aku benar-benar ingin sekali mengucap kata perpisahan. Tapi karena kesempatan memang tidak ada. Jadi niat itu kuurungkan saja.
Di saat teman-teman lain memilih melanjutkan jenjang pendidiklannya. Aku memilih merantau ke tanah Papua (Sorong) hingga kau begitu cepat kulupakan di tengah kesibukanku dan perlahan tergantikan dengan pengakuan-pengakuan yang lain pada perempuan-perempuan yang kujumpai.

Kau sungguh tidak ada dalam ingatanku di sepanjang tahun 2003 hingga di tahun 2006.

Hal ini sudah kukatakan, kalau saja kau tidak datang kerumah bersama Bim, Hendro dan Sri. Aku pasti tidak akan mengingatmu lagi. Tapi tuhan punya jalan lain. Sungguh di luar dugaan karena hal itu tidak ada dalam rencanaku, lalu selanjutnya kabel ingatanku tersambung kembali kalau kau pernah membuatku susah tertidur. Kita pun bertukar nomor handphone, dan dengan berani aku mengirim pesan pendek. Yang kemudian perlahan membuka kejujuran-kejujuran dan yang dulu ingin sekali kudengar, kau mengakui kalau aku pernah berkata jujur tentang perasaanku padamu, kau pun akhirnya memberi jawaban yang terlambat kudengar, bahwa sebenarnya kau tidak menghindar karena kau tak menginginkan adanya perpecahan antara aku dan seorang teman, karena ternyata Tengku juga telah berkata jujur tentang perasaanya padamu. “Ha…ha….ha…!” Aku sungguh tertawa mendengar itu, tapi harus kuakui pula kalau kau sungguh bijak. Tapi tetap saja penjelasan itu terlambat kau jelaskan.
Tapi karena kau telah kembali hadir, jadinya ada semacam beban tersendiri yang lumayan sulit untuk di jelaskan. Harus kuakui kalau aku hampir tak punya keberanian untuk mengirim pesan pendek di handphonemu meski itu berupa tanya yang basa-basi tentang keadaanmu yang sekarang. Lebih jujurnya lagi karena aku tak ingin lagi jatuh cinta padamu walau itu bisa di katakan mustahil. Tapi aku juga menyusun kekuatan yang lain dengan menyibukkan diri dengan kebiasaan burukku yang di kalangan pemuda sebayaku tak pernah menjadi agenda. Kalau tidak menanam bunga di halaman rumah, pasti mengurung diri di kamar membaca atau menulis. Hal lain yang tak kalah anehnya yaitu, namamu telah kurubah di daftar handphoneku dengan nama yang menurutku nama yang unik, itu kulakukan semata untuk tidak mengingatmu lagi kalau aku membuka layar handphoneku. Terlebih lagi karena aku tak ingin lagi jatuh cinta padamu dan aku berencana melakukan pengakuan hati pada seorang gadis di kampung yang setiap hari lewat di depan rumah kala berangkat kesekolah. Yang menurut teman-teman di kampung itu sangat tidak mungkin di lakukan, karena gadis itu jarang keluar rumah apalagi untuk mendengar hal-hal aneh. “Ia pasti akan pinsang bila kau katakan cintamu padanya” begitu ucap teman padaku.

***

Tapi kadang-kadang juga muncul kekonyolan yang mengharuskan aku mengirim pesan pendek. Tapi untuk menghindari hal-hal yang tak di inginkan, aku sekedar iseng saja bertanya tentang apa saja yang bisa kau jawab secukupnya. Sebisa mungkin aku menyusun alasan yang tidak mencurigakan kalau aku sengaja tidak pernah mengabarimu di karenakan karena aku telah melakukan penelitian untuk mempelajari watak-watak manusia untuk kepentingan tokoh dalam cerpenku. Sesudahnya barula terasa ada kepuasaan yang juga rumit untuk di gambarkan, antara kekuatan untuk benar-benar melupakanmu dan kemunafikan yang bisa saja benar, kalau aku sebenarnya memikirkanmu.
Aku seperti melukai lukaku sendiri yang sebenarnya sudah sembuh, karena seharusnya tak semestinya lagi aku memaknai kehadiranmu sebagai pertemuan pertama yang harus di hiasi dengan kejujuran-kejujuran yang basi. Karena kau pun meyakinkan langkahmu hanya untuk menyambung silaturrahmi.

Cinta memang selalu hadir dari rahasia-rahasia yang belum di mengerti, setelah ia muncul ternyata hanyalah kekaguman semata. Kurang lebih Pramoedya Ananta Toer mengingatkan demikian.

***

Sebagaimana selanjutnya aku datang juga memenuhi ajakanmu membawa bingkisan seadanya dari hasil usahaku menerka kegemaranmu. Kalau tidak salah ada kue kering, minuman kaleng, dan biskuit. Perjalanan ketempat pesantrenmu di penuhi dengan nyanyian dan senyum sumringah yang kikuk, aku bahagia atau heran. Atau jangan-jangan aku cuma bermimpi saja. Tapi ada harapan yang kugenggam bahwa ini pertanda kalau kehadiranku merupakan pembunuh sepi dari kebosananmu di pesanteren! Meski kemudian itu hanya salah satu salah sangkaku dari rasa percaya diriku yang berlebih.
Hari ini bukanlah hari esok. Itulah dasarku membuat alasan bagaimana caranya bisa mengunjungimu lagi. Lalu teringat buku cerpen yang telah kurampungkan, ya itulah alasan yang tepat untuk bertemu denganmu lagi, karena aku memiliki kepentingan lain dari mengantar kumpulan cerpen itu. Maka kususunlah puisi penagkuanku yang jujur berharap kau memahaminya dan memberi keputusan yang jujur pula.
Setelah itu kuantar dipertemuan kedua, aku mulai menyusun kekuatan baru kalau aku tak perlu bersedih kalau kau menolak. Sekaligus aku juga tak perlu bergembira yang aneh kalau kau menerimanya. Aku sepakat kalau cinta itu perlu di pelajari dan membutuhkan uji coba untuk di ketahui kesempurnaannya dan kekurangannya. Kau juga sudah adil sesuai kesadaranmu yang mengingatkan kalau posisiku di hatimu baiknya teman saja. Sebaliknya aku perlu memeriksa kembali syarat-syarat cinta yang telah kuyakini karena ini bukanlah kegagalan yang mesti di hentikan perjalanannya. Jika aku harus emosi berarti aku pecundang, dan bahwasanya aku masih memiliki air mata, jadi aku tak punya alasan yang kuat untuk membencimu. Biarlah hal ini kuaduhkan dalam setiap doaku karena semua harus di ingat untuk di pelajari.

Pangkep, 8 April 2008